
Sememara itu, adanya pengenalan agama Kristen dan perluasan
kristenisasi yang terjadi bersamaan dengan perluasan kekuasaan kolonial
ke dalam masyarakat pribumi yang telah terlebih dahulu terpengaruh oleh
agama Islam, mengaburkan identitas politik yang melekat pada penguasa
kolonial dan identitas sosial -keagamaan pada usaha kristenisasi di mata
masyarakat umum.
Bagi sebagian besar penduduk pribumi, tekanan politis, ekonomis,
sosial, maupun kultural yang dialami oleh masyarakat secara umum sebagai
sesuatu yang identik dengan kemunculan orang Islam dan kekuasaan
kolonial yang menjadi penyebab kondisi tersebut tidak dapat dipisahkan
dari agama Kristen itu sendiri. Hal ini semakin diperburuk oleh struktur
yuridis formal masyarakat kolonial, yang secara tegas membedakan
kelompok masyarakat berdasarkan suku bangsa. Dalam stratifikasi
masyarakat kolonial; penduduk pribumi menempati posisi yang paling
rendah, sedangkan lapisan atas diduduki orang Eropa, kemudian orang
Timur Asing, seperti: orang Cina, Jepang, Arab, dan India.
Tidak mengherankan jika kebijakan pemerintah kolonial ini tetap
dianggap sebagai upaya untuk menempatkan orang Islam pada posisi sosial
yang paling rendah walaupun dalam lapisan sosial yang lebih tinggi
terdapat juga orang Arab yang beragama Islam. Di samping itu, akhir abad
XIX juga ditandai oleh terjadinya proses peng-urbanan yang cepat
sebagai akibat dari perkemhangan ekonomi, politik, dan sosial.
Kota-kota baru yang memiliki ciri masing-masing sesuai dengan
faktor pendukungnya muncul di banyak wilayah. Perluasan komunikasi dan
ransportasi mempermudah mobilitas penduduk. Sementara itu pembukaan
suatu wilayah sebagai pusat pemerintahan, pendidikan, industri, dan
perdagangan telah menarik banyak orang untuk datang ke tempat tersebut.
Sementara itu pula, tekanan ekonomi, politik, maupun sosial yang terjadi
di daerah pedesaan telah mendorong mereka datang ke kota-kota tersebut.
Memasuki awal abad XX sebagian besar kondisi yang telah terbentuk
sepanjang abad XIX terus berlangsung. Dalam konteks ekonomi, perluasan
aktivitas ekonomi sebagai dampak perluasan penanaman modal swasta asing
maupun perluasan pertanian rakyat belum mampu menimbulkan perubahan
ekonomi secara struktural sehingga kondisi hidup sebagian besar penduduk
masih tetap rendah. Di beberapa tempat penduduk pribumi memang berhasil
mengembangkan pertanian tanaman ekspor dlan mendapat keuntungan yang
besar, akan tetapi ekonomi mereka masih sangat labil terhadap perubahan
pasar.
Sementara itu perluasan aktivitas ekonomi menimbulkan persaingan
yang semakin besar sehingga para pengusaha industri pribumi harus
bersaing dengan produk impor yang lebih berkualitas dan lebih murah di
pasar lokal, sedangkan para peclagang pribumi juga harus bersaing ketat
dengan pedagang asing yang terus mendominasi perdagangan lokal,
regional, maupun internasional. Dalam perkembangan selanjutnya
persaingan ini di beberapa tempat tidak lagi hanya terbatas pada masalah
ekonomi, melainkan juga telah berkembang menjadi persoalan sosial,
kultural, ataupun politik. Walaupun dalam bidang politik terjadi
pergeseran dari kekuasan administratif yang tersentralisasi ke arah
desentralisasi pada tingka t lokal, kontrol yang ketat pejabat Belanda
terhadap pejabat pribumi masih tetap berlangsung.
Sementara itu, kebijakan Politik Balas Budi atau Politik Etis yang
difokuskan pada bidang edukasi, irigasi, dan kolonisasi yang
dilaksanakan sejak dekade pertama abad XX, telah memberikan kesempatan
yang lebih luas kepada penduduk pribumi mengikuti pendidikan Barat
dibandingkan dengan masa sebelumnya melalui pembentukan beberapa lembaga
pendidikan khusus bagi penduduk pribumi sampai tingkat desa. Akan
tetapi, kesempatan ini tetap saja masih sangat terbatas jika
dibandingkan dengan jumlah penduduk pribumi secara keseluruhan.
Kesempatan itu masih tetap diprioritaskan bagi kelompok elit
penduduk pribumi, atau kesempatan yang ada hanya terbuka untuk
pendidikan rendah, sedangkan kesempatan untuk mengikuti pendidikan
menengah dan tinggi masih sangat terbatas. Seperti pada masa sebelumnya,
kondisi seperti ini terbentuk selain disebabkan oleh kebijakan
pemerintah kolonial, juga dilatarbelakangi sikap antipati dari kelompok
Islam, yang menjadi pendukung utama masyarakat pribumi terhadap
pendidikan Barat itu sendiri.
Secara umum mereka lebih suka mengirimkan anak-anak mereka ke
pesantren, atau hanya sekedar ke lembaga pendidikan informal lain yang
mengajarkan pengetahuan dasar agama Islam. Akan tetapi, sebenarnya ada
dualisme cara memandang pendidikan Barat ini. Di samping dianggap
sebagai perwujudan dari pengaruh Barat atau Kristen terhadap lingkungan
sosial dan budaya lokal maupun Islam, pendidikan Barat juga dilihat
secara objektif sebagai faktor penting untuk mendinamisasi masyarakat
pribumi yang mayoritas beragama Islam.
Pendidikan Barat yang telah diperkenalkan kepada penduduk pribumi
secara terbatas ini ternyata telah menciptakan kelompok intelektual dan
profesional yang mampu melakukan perubahan-perubahan maupun memunculkan
ide-ide baru di dalam masyarakat maupun sikap terhadap kekuasaan
kolonial. Perubahan dan pencetusan ide-ide baru itu pada masa awal hanya
terbatas pada bidang sosial, kultural, dan ekonomi, akan tetapi
kemudian mencakup juga permasalahan politik. Walaupun feodalisme dalam
sikap maupun struktur yang lebih makro di dalam masyarakat, khususnya di
Jawa masih tetap berlangsung, pembentukan "organisasi modern" merupakan
salah satu realisasi yang penting dari upaya perubahan dengan ide-ide
baru tersebut.
Pada tahun 1908 organisasi Budi Utomo didirikan oleh para mahasiswa
sekolah kedokteran di Jakarta. Walaupun dasar, tujuan, dan aktivitas
Budi Utomo sebagai suatu organisasi masih terikat pada unsur-unsur
primordial dan terbatas, keberadaan Budi Utomo secara langsung maupun
tidak berpengaruh terhadap bentuk baru dari perjuangan kebangsaan
melawan kondisi yang diciptakan oleh kolonialisme Belanda. Berbagai
organisasi baru kemudian didirikan, dan perjuangan perlawanan terhadap
kekuasaan kolonial yang dulu terkosentrasi di kawasan pedesaan mulai
beralih terpusat di daerah perkotaan.
Dunia Islam dan Masyarakat Muslim Indonesia Secara makro
perkembangan dunia Islam pada akhir abad XIX dan awal abad XX ditandai
oleh usaha untuk melawan dominasi Barat setelah sebagian besar negara
yang penduduknya beragama Islam secara politik, sosial, ekonomi, maupun
budaya telah kehilangan kemerdekaan dan berada di bawah kekuasaan
kolonialisme dan imprialisme Barat sejak beberapa abad sebelumnya. Dalam
masyarakat Muslim sendiri muncul usaha untuk mengatasi krisis internal
dalam proses sosialisasi ajaran Islam, akidah, maupun pemikiran pada
sebagian besar masyarakat, baik yang disebabkan oleh dominasi
kolonialisme dan imperialisme Barat, maupun sebab-sebab lain yang ada
dalam masyarakat Muslim itu sendiri.
Dalam kehidupan beragama ini terjadi kemerosotan ruhul Ishmi, jika
dilihat dari ajaran Islam yang bersumber pada Quran dan Sunnah
Rasulullah. Pengamalan ajaran Islam bercampur dengan bid'ah, khurafat,
dan syi'ah. Di samping itu, pemikiran umat Islam juga terbelenggu oleh
otoritas mazhab dan taqlid kepada para ulama sehingga ijtihad tidak
dilakukan lagi. Dalam pengajaran agama Islam, secara umum Qur'an yang
menjadi sumber ajaran hanya
diajarkan pada tingkat bacaan, sedangkan terjamahan dan tafsir
hanya boleh dipelajari oleh orang-orang tertentu saja. Sementara itu,
pertentangan yang bersumber pada masalah khilafiyah dan firu'iyah sering
muncul dalam masyarakat Muslim, akibatnya muncul berbagai firqah dan
pertentangan yang bersifat laten.
Di tengah-tengah kemerosotan itu, sejak pertengahan abad XIX muncul
ide-ide pemurnian ajaran dan kesadaran politik di kalangan umat Islam
melalui pemikiran dan aktivitas tokoh-tokoh seperti: Jamaludin
Al-Afgani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan para pendukung Muhammad bin
Abdul Wahab. Jamaludin Al-Afgani banyak bergerak dalam bidang politik,
yang diarahkan pada ide persaudaraan umat Islam sedunia dan gerakan
perjuangan pembebasan tanah air umat Islam dari kolonialisme Barat.
Sementara itu, Muhammad Abduh dan muridnya, Rasyid Ridha, berusaha
memerangi kestatisan, syirik, bid'ah, khurafat, taqlid, dan membuka
pintu ijtihad di kalangan umat Islam. Restrukturisasi lembaga pendidikan
Islam dan mewujudkan ide-ide ke dalam berbagai penerbitan merupakan
wujud usaha pemurnian dan pembaharuan yang dilakukan oleh dua orang
ulama dari Mesir ini. Rasyid Ridha, misalnya, menerbitkan majalah
Al-Manar di Mesir, yang kemudian disebarkan dan dikenal secara luas di
seluruh dunia Islam. Sementara itu, ide-ide pembaharuan yang
dikembangkan oleh pendukung Muhammad bin Abdlul Wahab dalam gerakan Al
Muwahhidin telah mendapat dukungan politis dari penguasa Arab Saudi
sehingga gerakan yang dikenal oleh para orientalis sebagai Wahabiyah itu
berkembang menjadi besar dan kuat.
Di Pulau Jawa, misalnya, persoalan kemurnian ajaran Islam ini
sangat terasa karena unsur-unsur lokal sangat berpengaruh dalam proses
sosialisasi ajaran di dalam masyarakat seperti yang terlihat pada:
sekaten, kenduri, tahlilan, dan wayang. Kondisi seperti ini dapat
dilihat pada laporan T.S. Raffles tentang Islam di Jawa pada awal abad
XIX, yang menyatakan bahwa orang Jawa yang berpengetahuan cukup tentang
Islam dan berprilaku sesuai dengan ajaran Islam hanya beberapa orang
saja.
Selain itu, K.H. Ahmad Rifa'i, salah seorang ulama di Jawa yang
sangat disegani oleh pemerintah kolonial, pada pertengahan abad XIX
menyatakan bahwa pengamalan agama Islam orang Jawa banyak menyimpang
dari aqidah Islalamiyah dan harus diluruskan. Interaksi reguler antara
sekelompok masyarakat Muslim Indonesia dengan dunia Islam memberi
kesempatan kepada mereka untuk mempelajari dan memahami lebih dalam
ajaran Islam sehingga tidak mengherankan kemudian muncul ide-ide atau
wawasan baru dalam kehidupan beragama di dalam masyarakat Indonesia.
Mereka mulai mempertanyakan kemurnian dan implementasi ajaran Islam di
dalam masyarakat. Oleh sebab itu, di samping unsur-unsur lama yang terus
bertahan seperti pemahaman dan pengamalan ajar-an Islam yang sinkretik
dan sikap taqlid terhadap ulama, di dalam masyarakat Muslim Indonesia
pada akhir abad XIX dan awal abad XX juga berkembang kesadaran yang
sangat kuat untuk melakukan pembaharuan dalam banyak hal yang
berhubungan dengan agama Islam yang telah berkembang di tengah-tengah
masyarakat.
Hal ini tentu saja menimbulkan konflik antarkelompok, yang
terpolarisasi dalam bentuk gerakan yang dikenal sebagai "kaum tua"
berhadapan dengan "kaum muda" atau antara kelompok "pembaharuan"
berhadapan dengan "antipembaharuan". Sementara itu, krisis yang terjadi
di dalam Islam di Indonesia, selain disebabkan oleh dinamika internal
juga tidak dapat dipisahkan dengan perluasan kekuasaan pemerintah
kolonial Belanda. Islam sejak awal muncul sebagai kekuatan di balik
perlawanan terhadap kolonialisme, baik dalam pengertian idiologis maupun
peran langsung para ulama dan umat Islam secara keseluruhan. Hal ini
dapat dilihat berbagai perlawanan yang terjadi sepanjang abad XIX dan
awal abad XX, seperti: Perang Diponegoro, Perang Bonjol, Perang Aceh,
dan protes-protes petani, yang semuanya diwarnai oleh unsur Islam yang
sangat kental.
Akibatnya, pemerintah kolonial cenderung melihat Islam sebagai
ancaman langsung dari eksistensi kekuasaan kolonial ini. Setiap
aktivitas yang berhubungan dengan Islam selalu dicurigai dan dianggap
sebagai langkah untuk melawan penguasa. Oleh sebab itu, berdasarkan
konsep yang dikembangkan oleh C. Snouck Hurgronje pada akhir abad XIX
pemerintah kolonial secara tegas memisahkan Islam dari politik, akan
tetapi Islam sebagai ajaran agama dan kegiatan sosial dibiarkan
berkembang walaupun tetap berada dalam pengawasan yang ketat. Kecurigaan
pemerintah kolonial yang berlebihan terhadap Islam ini membatasi
kreativitas umat, baik dalam pengertian ajaran, pemikiran, maupun
penyesuaian diri dengan dinamika dan perubahan yang terjadi dalam
masyarakat secara umum.
Hal ini semakin diperburuk oleh munculnya sikap taqlid kepada para
ulama tertentu pada sebagian besar umat Islam di Indonesia pada waktu
itu. Pemerintah kolonial juga berusaha mengeksploitasi perbedaan yang
ada dalam masyarakat yang berhubungan dengan Islam, seperti perbedaan
sosio-antropologis antara kelompok santri dan abangan yang menjadi
konflik sosial berkepanjangan. Selain itu, aktivitas kristenisasi yang
dilakukan oleh missi Katholik maupun zending Protestan terhadap penduduk
pribumi yang telah beragama Islam terus berlangsung tanpa halangan dari
penguasa kolonial. Lembaga pendidikan dari tingkat dasar sampai
menengah, panti asuhan, dan rumah sakit yang didirikan oleh missi dan
zending sebagai pendukung utama dalam proses kristenisasi, secara
reguler mendapat bantuan dana yang besar dari pemerintah.
Ahmad Dahlan dan Pembentukan Muhammmadiyah di tengah-tengah kondisi
tidak menentu seperti yang digambarkan di atas, Ahmad Dahlan muncul
sebagai salah seorang yang perduli terhadap kondisi yang sedang dihadapi
masyarakat pribumi secara umum maupun masyarakat Muslim secara khusus.
Ahmad Dahlan lahir di Kampung Kauman Yogyakarta pacla tahun 1868 dengan
nama Muhammad Darwis. Ayahnya K.H. Abu Bakar adalah imam dan khatib
Masjid Besar Kauman Yogyakarta, sementara ibunya Siti Aminah adalah anak
K.H. Ibrahim, penghulu besar di Yogyakarta. Menurut salah satu
silsilah, keluarga Muhammad Darwis dapat dihubungkan dengan Maulana
Malik Ibrahim, salah seorang wali penyebar agama Islam yang dikenal di
Pulau Jawa.
Sebagai anak keempat dari keluarga K.H. Abubakar, Muhammad Darwis
mempunyai 5 orang saudara perempuan dan I orang saudara laki-laki.
Seperti layaknya anak-anak di Kampung Kauman pada waktu itu yang
diarahkan pada pendidikan informal agama Islam, sejak kecil Muhammad
Darwis sudah belajar membaca Quran di kampung sendiri atau di tempat
lain. Ia belajar membaca Quran dan pengetahuan agama Islam pertama kali
dari ayahnya sendiri dan pada usia delapan tahun ia sudah lancar dan
tamat membaca Quran. Menurut cerita, sejak kecil Muhammad Darwis sudah
menunjukkan beberapa kelebihan dalam penguasaan ilmu, sikap, dan
pergaulan sehari-hari dibandingkan teman-temannya yang sebaya.
Ia juga mempunyai keahlian membuat barang-barang kerajinan dan
mainan. Seperti anak laki-laki yang lain, Muhammad Darwis juga sangat
senang bermain layang-layang dan gasing. Seiring dengan perkembangan
usia yang semakin bertambah, Muhammad Dalwis yang sudah tumbuh remaja
mulai belajar ilmu agama Islam tingkat lanjut, tidak hanya sekedar
membaca Quran. Ia belajar fiqh dari K.H. Muhammad Saleh dan belajar
nahwu dari K.H. Muhsin. Selain belajar dari dua guru di atas yang juga
adalah kakak iparnya, Muhammad Darwis belajar ilmu agama lslam lebih
lanjut dari K.H. Abdul Hamid di Lempuyangan dan KH. Muhammad Nur.
Muhammad Darwis yang sudah dewasa terus belajar ilmu agama Islam
maupun ilmu yang lain dari guru-guru yang lain, termasuk para ulama di
Arab Saudi ketika ia sedang menunaikan ibadah haji. Ia pernah belajar
ilmu hadist kepada Kyai Mahfudh Termas dan Syekh Khayat, belajar ilmu
qiraah kepada Syekh Amien dan Sayid Bakri Syatha, belajar ilmu falaq
pada K.H. Dahlan Semarang, dan ia juga pernah belajar pada Syekh Hasan
tentang mengatasi racun binatang. Menurut beberapa catatan, kemampuan
intelektual Muhammad Darwis ini semakin berkembang cepat dia menunaikan
ibadah haji pertama pada tahun 1890, beberapa bulan setelah
perkawinannya dengan Siti Walidah pada tahun 1889.
Proses sosialisasi dengan berbagai ulama yang berasal dari
Indonesia seperti: Kyai Mahfudh dari Termas, Syekh Akhmad Khatib dan
Syekh Jamil Jambek dari Minangkabau, Kyai Najrowi dari Banyumas, dan
Kyai Nawawi dari Banten, maupun para ulama dari Arab, serta pemikiran
baru yang ia pelajari selama bermukim di Mekah kurang lebih delapan
bulan, telah membuka cakrawala baru dalam diri Muhammad Darwis, yang
telah berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Perkembangan ini dapat dilihat
dari semakin, luas dan bervariasinya jenis kitab yang dibaca Ahmad
Dahlan. Sebelum menunaikan ibadah haji, Ahmad Dahlan lebih banyak
mempelajari kitab-kitab, dari Ahlussunnah waljamaah dalam ilmu aqaid,
dari madzab Syafii dalam ilmu Fiqh dari Imam Ghozali dan ilmu tasawuf.
Sesudah pulang dari menunaikan ibadah haji, Ahmad Dahlan mulai
membaca kitah-kitab lain yang belum pernah dilakukan sebelumnya.
Semangat membaca Ahmad Dahlan yang besar ini dapat dilihat pada kejadian
ketika ia membeli buku menggunakan sebagian dari modal sebesar 1500
setelah ia pulang dari menunaikan ibadah haji yang pertama, yang
sebenarnya diberikan oleh keluarganya untuk berdagang. Sementara itu,
keinginan untuk memperdalam ilmu agama Islam terus muncul pada diri
Ahmad Dahlan. Dalam upaya untuk mewujudkan cita-citanya itu, ia
menunaikan ibadah haji kedua pada tahun 1903, dan bermukim di Mekah
selama hampir dua tahun. Kesempatan ini digunakan Ahmad Dahlan untuk
belajar ilmu agama Islam baik dari para guru ketika ia menunaikan ibadah
haji pertama maupun dari guru-guru yang lain.
Ia belajar fiqh pada Syekh Saleh Bafadal, Syekh Sa'id Yamani, dan
Syekh Sa' id Babusyel. Ahmad Dahlan belajar ilmu hadist pada Mufti
Syafi'i, sementara itu ilmu falaq dipelajari pada Kyai Asy'ari Bawean.
Dalam bidang ilmu qiruat, Ahmad Dahlan belajar dari Syekh Ali Misri
Makkah. Selain itu, selama bermukim di Mekah ini Ahmad Dahlan juga
secara reguler mengadakan hubungan dan membicarakan berbagai masalah
sosial-keagamaan, termasuk masalah yang terjadi di Indonesia dengan para
Ulama Indonesia yang telah lama bermukim di Arab Saudi, seperti: Syekh
Ahmad Khatib dari Minangkabau, Kyai Nawawi dari Banten, Kyai Mas
Abdullah dari Surabaya, dan Kyai Fakih dari Maskumambang.
Berdasarkan koleksi buku-buku yang ditinggalkan oleh Ahmad Dahlan,
sebagian besar adalah buku yang dipengaruhi ide-ide pembaharuan. Di
antara buku-buku yang sering dibaca Ahmad Dahlan antara lain: Kosalatul
Tauhid karangan Muhammad Abduh, Tafsir Juz Amma karangan Muhammad Abduh,
Kanz AL-Ulum, Dairah Al Ma'arif karangan Farid Wajdi, Fi Al -Bid'ah
karangan Ibn Taimiyah, Al Tawassul wa-al-Wasilah karangan Ibn Taimiyah,
Al-Islam wa-l-Nashraniyah karangan Muhammad Abduh, Izhar al-Haq karangan
Rahmah al Hindi, Tafsshil al-Nasyatain Tashil al Sa'adatain, Matan
al-Hikmah karangan Atha Allah, dan Al-Qashaid al-Aththasiyvah karangan
Abd al Aththas.
Pengalaman Ahmad Dahlan mengajar agama Islam di dalam masyarakat
dimulai setelah ia pulang dari menunaikan ibadah haji pertama. Ahmad
Dahlan mulai dengan membantu ayahnya mengajar para murid yang masih
kanak-kanak dan remaja. Dia mengajar pada siang hari sesudah dzuhur, dan
malam hari, antara maghrib sampai isya. Sementara itu, sesudah ashar
Ahmad Dahlan mengikuti ayahnya yang mengajar agama Islam kepada
orang-orang tua. Apabila ayahnya berhalangan, Ahmad Dahlan menggantikan
ayahnya memberikan pelajaran sehingga akhirnya ia mendapat sebutan kyai,
sebagai pengakuan terhadap kemampuan dan pengalamannya yang luas dalam
memberikan pelajaran agama Islam.
Ahmad Dahlan juga mulai menyampaikan ide-ide baru yang lebih
mendasar, seperti persoalan arah kiblat salat yang sebenarnya. Akan
tetapi, ide baru ini tidak begitu saja bisa dilaksanakan seperti yang
diajarkan di serambi masjid besar karena mempersoalkan arah kiblat salat
merupakan suatu hal yang sangat peka pada waktu itu. Ahmad Dahlan
memerlukan waktu hampir satu tahun untuk menyampaikan masalah ini. Itu
pun hanya terbatas pada para ulama yang sudah dikenal dan dianggap
sepaham di sekitar Kampung Kauman. Pada satu malam pada tahun 1898,
Ahmad Dahlan mengundang 17 orang ulama yang ada di sekitar kota
Yogyakarta untuk melakukan musyawarah tentang arah kiblat di surau milik
keluarganya di Kauman.
Diskusi antara para ulama yang telah mempersiapkan diri dengan
berbagai kitab acuan ini berlangsung sampai waktu subuh, tanpa
menghasilkan kesepakatan. Akan tetapi, dua orang yang secara diam-diam
mendengar pembicaraan itu beberapa hari kemudian membuat tiga garis
putih setebal 5 cm di depan pengimaman masjid besar Kauman untuk
mengubah arah kiblat sehingga mengejutkan para jemaah salat dzuhur waktu
itu. Akibatnya, Kanjeng Kyai
Penghulu H.M. Kholil Kamaludiningrat memerintahkan untuk menghapus tanda tersebut dan mencari orang yang melakukan itu.
Sebagai realisasi dari ide pembenahan arah kiblat tersebut, Ahmad
Dahlan yang merenovasi surau milik keluarganya pada tahun 1899
mengarahkan surau tersebut ke arah kiblat yang sebenarnya, yang tentu
saja secara arsitektural berbeda dengan arah masjid besar Kauman.
Setelah dipergunakan beberapa hari untuk kegiatan Ramadhan, Ahmad Dahlan
mendapat perintah dari Kanjeng Penghulu untuk membongkar surau
tersebut, yang tentu saja ditolak. Akhirnya, surau tersebut dibongkar
secara paksa pada malam hari itu juga. Walaupun diliputi perasaan
kecewa, Ahmad Dahlan membangun kembali surau tersebut sesuai dengan arah
masjid besar Kauman setelah berhasil dibujuk oleh saudaranya, sementara
arah kiblat yang sebenarnya ditandai dengan membuat garis petunjuk di
bagian dalam masjid.
Setelah pulang dari menunaikan ibadah haji kedua, aktivitas
sosial-keagamaan Ahmad Dahlan di dalam masyarakat di samping sebagai
Khatib Amin semakin berkembang. Ia membangun pondok untuk menampung para
murid yang ingin belajar ilmu agama Islam secara umum maupun ilmu lain
seperti: ilmu falaq, tauhid, dan tafsir. Para murid itu tidak hanya
berasal dari wilayah Residensi Yogyakarta, melainkan juga dari daerah
lain di Jawa Tengah. Walaupun begitu, pengajaran agama Islam melalui
pengajian kelompok bagi anak- anak, remaja, dan orang tua yang telah
lama berlangsung masih terus dilaksanakan. Di samping itu, di rumahnya
Ahmad Dahlan mengadakan pengajian rutin satu minggu atau satu bulan
sekali bagi kelompok-kelompok tertentu, seperti pengajian untuk para
guru dan pamong praja yang berlangsung setiap malam Jum`at.
Pembentukan ide-ide dan aktivitas baru pada diri Ahmad Dahlan tidak
dapat dipisahkan dari proses sosialisasi dirinya sebagai pedagang dan
ulama serta dengan alur pergerakan sosial- keagamaan, kultural, dan
kebangsaan yang sedang berlangsung di Indonesia pada awal abad XX.
Sebagai seorang pedagang sekaligus ulama, Ahmad Dahlan sering melakukan
perjalanan ke berbagai tempat di Residensi Yogyakarta maupun daerah lain
seperti: Periangan, Jakarta, Jombang, Banyuwangi, Pasuruan, Surabaya,
Gresik, Rembang, Semarang, Kudus, Pekalongan, Purwokerto, dan Surakarta.
Di tempat-tempat itu ia bertemu dengan para ulama, pemimpin lokal,
maupun kaum cerdik cendekia lain, yang sama-sama menjadi pedagang atau
bukan.
Dalam pertemuan-pertemuan itu mereka berbicara tentang masalah
agama Islam maupun masalah umum yang terjadi dalam masyarakat, terutama
yang secara langsung berhubungan dengan kemunculan, kestatisan, atau
keterbelakangan penduduk Muslim pribumi di tengah- tengah masyarakat
kolonial. Dalam konteks pergerakan sosial keagamaan, budaya, dan
kebangsaan, hal ini dapat diungkapkan dengan adanya interaksi personal
maupun formal antara Ahmad Dahlan dengan organisasi seperti : Budi
Utomo, Sarikat Islam, dan Jamiat Khair, maupun hubungan formal antara
organisasi yang ia cirikan kemudian, terutama dengan Budi Utomo.
Secara personal Ahmad Dahlan mengenal organisasi Budi Utomo melalui
pembicaraan atau diskusi dengan Joyosumarto, seorang anggota Budi Utomo
di Yogyakarta yang mempunyai hubungan dekat dengan dr. Wahidin
Sudirohusodo, salah seorang pimpinan Budi Utomo yang tinggal di Ketandan
Yogyakarta. Melalui Joyosumarto ini kemudian Ahmad Dahlan berkenalan
dengan dr. Wahidin Sudirohusodo secara pribadi dan sering menghadiri
rapat anggota maupun pengurus yang diselenggarakan oleh Budi Utomo di
Yogyakarta walaupun secara resmi ia belum menjadi anggota organisasi
ini. Setelah banyak mendengar tentang aktivitas dan tujuan organisasi
Budi Utomo melalui pembicaraan pribadi dan kehadirannya dalam pertemuan
-pertemuan resmi, Ahmad Dahlan kemudian secara resmi menjadi anggota
Budi Utomo pada tahun 1909.
Dalam perkembangan selanjutnya, Ahmad Dahlan tidak hanya menjadi
anggota biasa, melainkan ia menjadi pengurus kring Kauman dan salah
seorang komisaris dalam kepengurusan Budi Utomo Cabang Yogyakarta.
Sementara itu, pada sekitar tahun 1910 Ahmad Dahlan juga menjadi anggota
Jamiat Khair, organisasi Islam yang banyak bergerak dalam bidang
pendidikan dan mayoritas anggotanya adalah orang-orang Arab.
Keterlibatan secara langsung di dalam Budi Utomo memberi pengetahuan
yang banyak kepada Ahmad Dahlan tentang cara berorganisasi dan mengatur
organisasi secara modern.
Sementara itu, walaupun Ahmad Dahlan tidak terlibat secara aktif di
dalam Jamiat Khair, selain belajar berorganisasi secara modern di
kalangan orang Islam, ia juga mendapat pengetahuan tentang kegiatan
sosial, terutama yang berhubungan dengan pendirian dan pengelolaan
lembaga pendidikan model sekolah. Semua ini tentu saja merupakan suatu
hal yang baru dan sangat berpengaruh bagi langkah-langkah yang dilakukan
Ahmad Dahlan pada masa selanjutnya, seperti pendirian sekolah model
Barat maupun pembentukan satu
organisasi.
Sebagai pengurus Budi Utomo, aktivitas Ahmad Dahlan tidak hanya
terbatas pada hal-hal yang berhubungan langsung dengan masalah
organisasi. Ia sering memanfaatkan forum pertemuan pengurus maupun
anggota Budi Utomo sebagai tempat untuk menyampaikan informasi tentang
agama Islam, bidang yang sangat ia kuasai. Kegiatan ini biasanya
dilakukan setelah acara resmi selesai. Kepiawaian Ahmad Dahlan dalam
menyampaikan informasi tentang agama Islam dalam berbagai pertemuan
informal itu telah menarik perhatian para pengurus maupun anggota Budi
Utomo yang sebagian besar terdiri dari pegawai pemerintah dan guru
sehingga sering terjadi diskusi yang menarik di antara mereka tentang
agama Islam.
Di antara pengurus dan anggota Budi Utomo yang tertarik pada
masalah agama Islam adalah R. Budiharjo dan R. Sosrosugondo, yang pada
saat itu menjabat sebagai guru di Kweekschool Jetis. Melalui jalur dua
orang guru ini Ahmad Dahlan mendapat kesempatan mengajar agama Islam
kepada para siswa Kweekschool Jetis, setelah kepala sekolah setuju dan
memberikan izin. Pelajaran agama Islam di sekolah guru milik pemerintah
itu diberikan di luar jam pelajaran resmi, yang biasanya dilakukan pada
setiap hari Sabtu sore.
Dalarn mengajarkan pengetahuan agama Islam secara umum maupun
membaca Quran, Ahmad Dahlan menerapkan metode pengajaran yang
disesuaikan dengan kemampuan siswa sehingga mampu menarik perhatian para
siswa untuk menekuninya. Tentu saja sebagian siswa merasa bahwa waktu
pelajaran agama Is1am pada hari Sabtu sore itu belum cukup. Oleh sebab
itu, beberapa orang siswa, termasuk mereka yang belum beragama Islam
sering datang ke rumah Ahmad Dahlan di Kauman pada hari Ahad untuk
bertanya maupun melakukan diskusi lebih lanjut tentang berbagai
persoalan yang berhubungan dengan agama Islam.
Dalam perkembangan selanjutnya, pengalaman berorganisasi di Budi
Utomo dan Jamiat Khair memberikan pelajaran kepada siswa Kweekschool dan
didukung oleh perkembangan pendapat masyarakat umum pada waktu itu yang
mulai menyadari bahwa pendidikan merupakan salah satu sarana yang
penting bagi kemajuan penduduk pribumi. Oleh karena itu, Ahmad Dahlan
secara pribadi mulai merintis pembentukan sebuah sekolah yang memadukan
pengajaran ilmu agama Islam dan ilmu umum. Dalam berbagai kesempatan
Ahmad Dahlan menyampaikan ide pendirian sekolah yang mengacu pada metode
pengajaran seperti yang berlaku pada sekolah milik pemerintah kepada
berbagai pihak, termasuk kepada para santri yang belajar di Kauman
maupun penduduk Kauman secara umum. Sebagian besar dari mereka bersikap
acuh tak acuh, bahkan ada yang secara tegas menolak ide pendidikan
sistem sekolah tersebut karena dianggap bertentangan dengan tradisi
dalam agama Islam.
Delapan orang siswa pertama itu merupakan santrinya yang masih
setia, serta anak-anak yang masih mempunyai hubungan keluarga dengan
Ahmad Dahlan. Pendirian sekolah tersebut ternyata tidak mendapat
sambutan yang baik dari masyarakat sekitarnya kecuali beberapa orang
pemuda. Pada tahap awal proses belajar mengajar belum berjalan dengan
lancar. Selain ada penolakan dan pemboikotan masyarakat sekitarnya, para
siswa yang hanya berjumlah 8 orang itu juga sering tidak masuk sekolah.
Untuk mengatasi hal tersebut, Ahmad Dahlan tidak segan-segan datang ke
rumah para siswanya dan meminta mereka masuk sekolah kembali, di samping
ia terus mencari siswa baru. Seiring dengan pertambahan jumlah siswa,
Ahmad Dahlan juga menambah meja dan bangku satu per satu sehingga
setelah berlangsung enam bulan jumlah siswa menjadi 20 orang.
Ketika pendirian sekolah tersebut dibicarakan dengan anggota dan
pengurus Budi Utomo serta para siswa dan guru Kweekschool Jetis, Ahmad
Dahlan mendapat dukungan yang besar. Di antara para pendukung itu adalah
: Mas Raji yang menjadi siswa, R. Sosro Sugondo, dan R. Budiarjo yang
menjadi guru di Kweekschool Jetis sangat membantu Ahmad Dahlan
mengembangkan sekolah tersebut sejak awal.
R. Budiharjo yang bersama-sama Ahmad Dahlan menjadi pengurus Budi
Utomo Yogyakarta banyak memberikan Saran tentang penyelenggaraan sebuah
sekolah sesuai dengan pengalamannya menjadi kepala sekolah di
Kweekschool Jetis. Ia juga menyarankan kepada Ahmad Dahlan untuk meminta
subsidi kepada pemerintah jika sekolah yang didirikan itu sudah
teratur, dengan dukungan dari Budi Utomo. Selain itu, pendirian sekolah
itu juga mendapat dukungan dari kelompok terpelajar yang berasal dari
luar Kauman serta para siswa Kweekschool Jetis yang biasa datang ke
rumahnya pada setiap hari Ahad.
Sebagai realisasi dari dukungan Budi Utomo, organisasi ini
menempatkan Kholil, seorang guru di Gading untuk mengajar ilmu
pengetahuan umum pada sore hari di sekolah yang didirikan Ahmad Dahlan.
Oleh sebab itu, para siswa masuk dua kali dalam satu hari karena Ahmad
Dahlan mengajar ilmu pengetahuan agama Islam pada pagi hari. Walaupun
masih mendapat tantangan dari beberapa pihak, jumlah siswa terus
bertambah sehingga Ahmad Dahlan harus memindahkan ruang belajar ke
tempat yang lebih luas di serambi rumahnya.
Akhirnya setelah proses belajar mengajar semakin teratur, sekolah
yang didirikan oleh Ahmad Dahlan itu diresmikan pada tanggal 1 Desember
1911 dan diberi nama Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah. Ketika
diresmikan, sekolah itu mempunyai 29 orang siswa dan enam bulan kemudian
dilaporkan bahwa terdapat 62 orang siswa yang belajar di sekolah itu.
Sebagai lembaga pendidikan yang baru saja terbentuk, sekolah yang
didirikan oleh Ahmad Dahlan memerlukan perhatian lebih lanjut agar dapat
terus dikembangkan. Dalam kondisi seperti itu, pengalaman Ahmad Dahlan
berorganisasi dalam Budi Utomo dan Jamiat Khair menjadi suatu hal yang
sangat penting bagi munculnya ide dan pembentukan satu organisasi untuk
mengelola sekolah tersebut, di samping kondisi makro pada saat itu yang
telah menimbulkan kesadaran akan arti penting suatu organisasi modern
maupun masukan yang didapat dari para pendukung, termasuk dari para
murid Kweekschool Jetis.
Salah seorang siswa kweekschool yang biasa datang ke rumah Ahmad
Dahlan pada hari Ahad, misalnya, menyarankan agar sekolah tersebut tidak
hanya diurus oleh Ahmad Dahlan sendiri melainkan dilakukan oleh suatu
organisasi supaya sekolah itu dapat terus berlangsung walaupun Ahmad
Dahlan tidak lagi terlibat di dalamnya atau setelah ia meninggal. Ide
pembentukan organisasi itu kemudian didiskusikan lebih lanjut dengan
orang-orang yang selama ini telah mendukung pembentukan dan pelaksanaan
sekolah di Kauman, terutama para anggota dan pengurus Budi Utomo serta
guru dan murid Kweekschool Jetis.
Dalam satu kesempatan untuk mendapatkan dukungan dalam rangka
merealisasi ide pembentukan sebuah organisasi, Ahmad Dahlan melakukan
pembicaraan dengan Budiharjo yang menjadi kepala sekolah di Kweekschool
Jetis dan R. Dwijosewoyo, seorang aktivis Budi utomo yang sangat
berpengaruh pada masa itu. Pembicaraan tersebut tidak hanya terbatas
pada upaya mencari dukungan, melainkan juga sudah difokuskan pada
persoalan nama, tujuan, tempat kedudukan, dan pengurus organisasi yang
akan dibentuk. Berdasarkan pembicaraan-pembicaraan yang dilakukan
didapatkan beberapa ha1 yang berhubungan secara langsung dengan rencana
pembentukan sebuah organisasi.
Pertama, perlu didirikan sebuah organisasi baru di Yogyakarta.
Kedua, para siswa Kweekschool tetap akan mendukung Ahmad Dahlan, akan
tetapi mereka tidak akan menjadi pengurus organisasi yang akan didirikan
karena adanya larangan dari inspektur kepala dan anjuran agar pengurus
supaya diambil dari orang-orang yang sudah dewasa. Ketiga, Budi Utomo
akan membantu pendirian perkumpulan baru tersebut. Pada bulan-bulan
akhir tahun 1912 persiapan pembentukan sebuah perkumpulan baru itu
dilakukan dengan lebih intensif, melalui pertemuan-pertemuan yang secara
ekplisit membicarakan dan merumuskan masalah seperti nama dan tujuan
perkumpulan, serta peran Budi Utomo dalam proses formalitas yang
berhubungan dengan pemerintah Hindia Belanda.
Walaupun secara praktis organisasi yang akan dibentuk bertujuan
untuk mengelola sekolah yang telah dibentuk lebih dahulu, akan tetapi
dalam pembicaraan-pembicaraan yang dilakukan selanjutnya tujuan
pembentukan organisasi itu berkembang lebih luas, mencakup penyebaran
dan pengajaran agama Islam secara umum serta aktivitas sosial lainnya.
Anggaran dasar organisasi ini dirumuskan dalam bahasa Belanda dan bahasa
Melayu, yang dalam penyusunannya mendapat bantuan dari R. Sosrosugondo,
guru bahasa Melayu di Kweekscbool Jetis.
Organisasi yang akan dibentuk itu diberi nama "Muhammadiyah", nama
yang berhubungan dengan nama nabi terakhir Muhammad SAW."' Berdasarkan
nama itu diharapkan bahwa setiap anggota Muhammadiyah dalam kehidupan
beragama dan bermasyarakat dapat menyesuaikan diri dengan pribadi Nabi
Muhammad SAW dan Muhammadiyah menjadi organisasi akhir zaman. Sementara
itu, Ahmad Dahlan berhasil mengumpulkan 6 orang dari Kampung Kauman,
yaitu: Sarkawi, Abdulgani, Syuja, M. Hisyam, M. Fakhruddin, dan M. Tamim
untuk menjadi anggota Budi Utomo dalam rangka mendapat dukungan formal
Budi Utomo dalam proses permohonan pengakuan dari Pemerintah Hindia
Belanda terhadap pembentukan Muhammadiyah.
Setelah seluruh persiapan selesai, berdasarkan kesepakatan bersama
dan setelah melakukan shalat istikharah akhirnya pada tanggal 18
November 1912 M atau 8 Dzulhijjah 1330 H persyarikatan Muhammadiyah
didirikan. Dalam kesepakatan itu juga ditetapkan bahwa Budi Utomo Cabang
Yogyakarta akan
membantu mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda
agar pembentukan Muhammadiyah diakui secara resmi sebagai sebuah badan
hukum. Pada hari Sabtu malam, tanggal 20 Desember 1912, pembentukan
Muhammadiyah diumumkan secara resmi kepada masyarakat dalam suatu
pertemuan yang dihadiri oleh tokoh masyarakat, pejabat pemerintah
kolonial, maupun para pejabat dan kerabat Kraton Kasultanan Yogyakarta
maupun Kadipaten Pakualaman.
Pada saat yang sama, Muhammadiyah yang dibantu oleh Budi Utomo
secara resmi mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda
untuk mengakui Muhammadiyah sebagai suatu badan hukum. Menurut anggaran
dasar yang diajukan kepada pemerintah pada waktu pendirian, Muhammadiyah
merupakan organisasi yang bertujuan menyebarkan pengajaran agama Nabi
Muhammad SAW kepada penduduk bumiputra di Jawa dan Madura serta
memajukan pengetahuan agama para anggotanya. Pada waktu itu terdapat 9
orang pengurus inti, yaitu: Ahmad Dahlan sebagai kctua, Abdullah Sirat
sebagai sekretaris, Ahmad, Abdul Rahman, Sarkawi, Muhammad, Jaelani,
Akis, dan Mohammad Fakih sebagai anggota. Sementara itu, para anggota
hanya dibatasi pada penduduk Jawa dan Madura yang beragama Islam.
******
Tidak ada komentar:
Posting Komentar