KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbilalamin, segala
puji bagi Allah SWT Tuhan seru sekalian alam atas segala berkat, rahmat,
taufik, serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan
judul ” perjanjian internasional”.
Dalam penyusunan makalah ini,
penulis memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak. Penulis mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bimbingan dan
arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini, serta kedua orang tua,
keluarga besar penulis, dan rekan-rekan yang selalu berdoa dan memberikan
motivasi kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa makalah ini
masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar makalah ini dapat lebih baik
lagi. Akhir kata penulis berharap kerangka acuan makalah ini dapat memberikan
wawasan dan pengetahuan kepada para pembaca pada umumnya dan pada penulis pada
khususnya
Mantup, 21 Maret 2012
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
BAB II KAJIAN PUSTAKA
BAB III PEMBAHASAN
A. Kedudukan Perjanjian
International Dalam Sistem Hukum Nasional
B. Kekuatan Mengingat Perjanjian
International terhadap Negara Pihak Ketiga
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kerjasama antarnegara saat ini sudah
tidak dapat lagi dihindarkan. Bentuk kehidupan yang kompleks sangat rentan
untuk tejadi perselisihan. Untuk menghindari agar perselisihan tidak terjadi
maka masyarakat internasional harus senantiasa bertumpu pada norma atau aturan.
Aturan tersebut tidak hanya dibuat untuk menghindari perselisihan, akan tetapi
juga untuk menertibkan, mengatur dan memelihara hubungan antarnegara.
Perwujudan kerjasama tersebut dituangkan dalam bentuk perjanjian.
Tidak dapat dinafikan betapa
batas-batas teritorial suatu negara nasional kini tidak lagi menjadi penghalang
bagi berbagai aktivitas ekonomi yang semakin pesat. Demikian pula lahan
beroperasinya pekerjaan hukum yang semakin mendunia. Fenomena di atas, nyata
sekali dengan berkembangnya penggunaan istilah yang mengindikasikan dilampauinya
batas-batas tradisional dan teritorial nasional suatu negara, seperti istilah
transnational corporation, transnational capitalist class, transnational
practices, transnational information exchange, the international managerial
bourgoisie, trans-state norms,3 dan lain-lain. Dalam perkembangan kehidupan
bersama manusia yang cenderung semakin tidak mengenal batas negara ini, boleh
jadi kesepakatan antar negaranegara dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang
dituangkan dalam bentuk perjanjian internasional merupakan sumber hukum yang
semakin penting. Persoalannya, karena semakin banyak masalah transnasional yang
memerlukan pengaturan yang jangkauannya hanya mungkin dilakukan dengan
instrumen perjanjian internasional. Hal itu disebabkan perjanjian internasional
sudah berhasil menciptakan norma-norma hukum baru yang diperlukan untuk
mengatur hubungan antar negara dan antar masyarakat negara-negara yang
volumenya semakin besar, intensitasnya semakin kuat, dan materinya semakin
kompleks.
B. Rumusan Masalah.
1. Bagaimana kedudukan perjanjian
Internasional dalam sistem perundang- undangan nasional?
2. Seberapa besar kekuatan mengikat
hukum Internasional terhadap negara pihak ke tiga?
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Perjanjian Internasional adalah
hasil kesepakatan yang dibuat oleh subyek hukum internasional baik yang
berbentuk bilateral, reginal maupun multilateral.
Perjanjian Bilateral adalah
perjanjian apabila yang menjadi pihak dua negara, sedangkan regional adalah
perjanjian apabila yang menjadi pihak negara-negara dalam satu kawasan
sedangkan multilaretal adalah perjanjian yang apabila pihaknya lebih dari dua
negara atau hampir seluruh negara di dunia dan tidak terikat dalam satu kawasan
tertentu. Sedangkan menurut Konvensi wina Pasal 2 1969, Perjanjian
Internasional (treaty) didefinisikan sebagai:
“Suatu Persetujuan yang dibuat
antara negara dalam bentuk tertulis, dan diatur oleh hukum internasional,
apakah dalam instrumen tunggal atau dua atau lebih instrumen yang berkaitan dan
apapun nama yang diberikan padanya.”
Definisi ini kemudian dikembangkan
oleh pasal 1 ayat 3 Undang-undang Republik Indonesia nomor 37 tahun 1999
tentang Hubungan Luar Negeri yaitu: Perjanjian Internasional adalah perjanjian
dalam bentuk dan sebuitan apapun, yang diatur oleh hukum internasional dan
dibuat secara tertulis oleh pemerintah Republik Indonesia dengan satua atau
lebih negara, organisasi internasional atau subyek hukum internasional lainnya,
serta menimbulkan hak dan kewajiban pada pemerintah Republik Indonesia yang
bersifat hukum publik”.
Menurut Pasal 38 (1) Piagam Makamah
Internasional, Perjanjian Internasional merupakan salah satu sumber hukum
Internasional. perjanjian Internasional yang diakui oleh pasal 38 (1) Piagam
Makamah Internasional hanya perjanjian – perjanjian yang dapat membuat hukum
(Law Making Treaties).
Istilah lain untuk perjanjian
internasional antara lain : traktat (treaty), pakta (pact), konvensi
(convention), piagam (statute), charter, declaration, protocol, arrangement,
accord, modus vivendi, covenant dsb.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Kedudukan Perjanjian
Internasional Dalam Sistem Hukum Nasional
Sebagai Negara merdeka yang
berdaulat Indonesia telah aktif berperan dalam pergaulan hubungan Internasional
dan mengadakan perjanjian-perjanjian Internasional dengan negara-negara lain,
baik yang bersifat bilateral maupun multilateral.
Dalam melaksanakan
perjanjian-perjanjian Internasional tersebut, Indonesia menganut prinsip Primat
Hukum Nasional dalam arti bahwa Hukum Nasional mempunyai kedudukan lebih tinggi
daripada hukum Internasional. Dasar kewenangan presiden dalam pembuatan
Perjanjian Internasional diatur dalam pasal 11 Undang-Undang dasar 1945
mengatur tentang perjanjian Internasional sebagai berikut:
1) Presiden dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian,
dan perjanjian dengan Negara lain.
2) Presiden dalam membuat perjanjian
Internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi
kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara, dan/ atau mengharuskan
perubahan atau pembentukan Undang-undang harus dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat.
3) Ketentuan lebih lanjut tentang
perjajian Internasional diatur dalam Undang-undang.
Berdasarkan pasal 11 ayat (3)
Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, telah diterbitkan surat Presiden nomor :
2826/Hk tentang Pengesahan Perjanjian Internasional yang berisi ketentuan –
ketentuan sebagai berikut:
• Bila Perjanjian Internasional
tersebut mengatur perjajian tentang masalah – masalah yang terkait dengan
politik dan kebijaksanaan Negara Republik Indonesia, Diratifikasi dengan undang
– undang.
• Dalam hal Perjanjian Internasional
tersebut mengatur tentang masalah-masalah yang bersifat tehnis dan segera,
diratifikasi dengan keputusan Presiden. Pada tahun 2000 surat Presiden nomor:
2826 tersebut dihapus dengan juga adanya Undang-undang nomor: 24/2000 tentang
Perjanjian Internasional yang juga memuat ketentuan-ketentuan sebagaimana telah
diatur dalam Surat Presiden nomor: 2826.
Perjanjian Internasional tidak
termasuk dalam susunan jenis peraturan perundang-undangan diatur dalam
Pasal 7 ayat (1) sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar 1945.
b. Undang-Undang / Peraturan
pengganti Undang-undang (Perpu).
c. Peraturan Pemerintah (PP).
d. Peraturan Presiden.
e. Peraturan Daerah
f. Peraturan Desa
Tentang kedudukan Perjanjian
Internasional dalam sistem peraturan perundang-undang Nasional, meskipun dalam
Undang-Undang nomor: 10 tahun 2004 tentang Peraturan, Perundang-undangan
tidak masuk sebagai jenis peraturan Perundang-undangan, namun perjanjian
Internasional juga diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan mengikat
sebagaimana diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
(pasal 7 ayat 4 undang-undang nomor 10 tahun 2004 tentang Perjajian
Internasional).
Berdasarkan sistem Hukum Nasional
kita, maka dengan meratifikasi suatu konvensi baik regional maupun
multilateral, perjanjian bilateral, negara sudah terikat untuk tunduk pada
ketentuan – ketentuan dalam konvensi atau perjanjian tersebut.
Suatu konvensi atau perjanjian internasional yang telah diratifikasi, baru
dapat dilaksanakan apabila telah dimasukkan dalam suatu undang – undang yang
dikenal sebagai Undang – Undang tentang Pengesahan Ratifikasi Perjanjian
Internasional.
Dalam sistem Hukum Nasional Indonesia,
meskipun suatu perjanjian Internasional telah diratifikasi dengan Undang –
undang tentang Pengesahan Ratifikasi, tetapi perjanjian belum dapat
dilaksanakan apabila tidak sesuai dengan isi ketentuan peraturan perundang –
undangan Nasional yang mengatur tentang materi yang sama dengan yang ditentukan
dalam perjanjian yang diratifikasikan tersebut.
B. Kekuatan Mengikat Perjanjian
Internasional terhadap Negara Pihak Ketiga
Pengertian secara umum bahwa negara
pihak ketiga adalah negara yang tidak turut serta dalam perundingan-perundingan
yang melahirkan suatu perjanjian. Pihak ketiga ini secara kontekstual akan
berlainan posisinya terhadap perjanjian bilateral dan terhadap perjanjian
multilateral. Artinya suatu negara pihak ketiga kemungkinan sama sekali tidak
akan ber kepentingan untuk turut serta dalam suatu perjanjian bilateral. Akan
tetapi tidak demikian halnya terhadap perjanjian multilateral. Setiap negara
pihak ketiga pada setiap saat senantiasa terbuka kesempatannya untuk turut
serta terhadap perjanjian multilateral, kecuali perjanjian itu menentukan lain.
Setelah negara pihak ketiga itu menyatakan diri turut serta terhadap suatu
perjanjian multilateral, secara yuridis negara tersebut bukan lagi negara pihak
ketiga. Walaupun mungkin negara tersebut tidak turut serta pada saat
perundingan yang melahirkan perjanjian itu.
Pada dasarnya suatu perjanjian
internasional hanya mengikat negaranegara yang membuatnya. Paling tidak itulah
makna dari suatu asas dalam Hukum Romawi yang menyebutkan: “pacta tertiis nec
nocent nec prosunt”. Maksudnya, bahwa “suatu perjanjian tidak memberi hak
maupun kewajiban pada pihak ketiga, tanpa persetujuan pihak ketiga tersebut”.
Akan tetapi dalam perkembangannya dijumpai adanya pengecualian, sehingga
berlakunya asas di atas tidak mutlak lagi. Sebagai contoh umpamanya, dengan
berlakunya pasal 2 ayat (6) dari Piagam Perserikatan Bangsa- Bangsa, ternyata
juga memberikan hak dan kewajiban kepada negara-negara yang bukan anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kenyataan itu menunjukkan bahwa dalam praktik suatu
perjanjian yang ditetapkan oleh peserta-peserta yang relatif besar jumlahnya
(seperti misalnya Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa), atau perjanjian tentang
suatu objek yang sangat penting (misalnya tentang Terusan Suez dan Terusan Panama)
dapat membawa pengaruh yang amat besar pada negara-negara yang bukan peserta.
Namun Konvensi Wina tidak menutup
sama sekali kemungkinan diperolehnya hak maupun dibebankannya suatu kewajiban
atas negara bukan peserta. Di dalam perjanjian internasional, kaidah-kaidah
mengenai hal itu dapat dijumpai dalam pasal-pasal 34, 35, 36, dan pasal 37
Konvensi Wina 1969. Ada satu ketentuan yang penting dalam kaitan ini adalah
bahwa perjanjian internasional tidak menimbulkan kewajiban atau hak bagi pihak
ketiga tanpa persetujuan pihak ketiga tersebut. Persetujuan ini harus diberikan
secara tertulis serta kewajiban dan hak pihak ketiga tersebut harus dinyatakan
dengan tegas dalam perjanjian itu. Kewajiban pihak ketiga adalah bahwa ia harus
bertindak sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan perjanjian dan ia akan
tetap terikat pada perjanjian tersebut selama ia tidak menyatakan kehendaknya
yang berlainan.
Negara-negara berkembang, terutama
negara-negara yang terletak di kawasan Asia-Afrika berpendapat bahwa persetujuan
pihak ketiga diberikan secara tegas dan tertulis harus untuk mencegah
mengikatnya suatu perjanjian bagi suatu negara lain di luar kehendaknya.
Penafsiran atas pasal-pasal 35 dan 36 di atas diberikan juga oleh International
Law Commission (ILC). Bahwa pasal 35 bermaksud melindungi negara-negara bukan
peserta dari kemungkinan pembebanan kewajiban yang sewenang-wenang. Sedangkan
pasal 36 ayat (2) bermaksud melindungi para peserta dari kemungkinan bahwa
negara-negara bukan peserta dapat melampaui batas hak yang diperolehnya dari
para peserta sedemikian rupa, sehingga mengurangi wewenang para peserta sendiri
atas perjanjian yang mereka bentuk. Selanjutnya ketentuan mengenai perubahan
atas suatu kewajiban dan perubahan atas suatu hak bagi negara-negara bukan peserta,
diatur di dalam pasal 37 (ayat 1 dan ayat 2).
Kaidah-kaidah perjanjian
internasional di atas antara lain membuktikan bahwa prinsip umum pacta tertiis
nec nocent nec prosunt tidak dapat lagi semata-mata ditafsirkan menurut arti
yang sesungguhnya seperti ketika zaman Romawi Kuno. Bahkan Starke, di dalam
bukunya antara lain, menyebutkan beberapa jenis perjanjian internasional yang
dapat mengikat negara-negara bukan peserta atau negara pihak ketiga. Jenis
perjanjian internasional tersebut diantaranya:
Pertama, “Multilateral treaties
declaratory of established customary international law will obviously apply to
non-parties, Also treaties, bilateral or otherwise…”. (Perjanjian multilateral
yang menyatakan berlakunya hukum kebiasaan internasional juga mengikat negara
bukan peserta). Akan tetapi terikatnya negara bukan peserta itu bukan oleh
perjanjian internasional bersangkutan, melainkan oleh hukum kebiasaan
internasional yang telah dituangkan ke dalam perjanjian internasional tersebut.
Sebagai contoh ketentuan perjanjian internasional semacam ini antara lain
Konvensi Jenewa tahun 1958 mengenai Hukum Laut dan Konvensi Jenewa tahun 1949
mengenai Perlindungan Korban Perang.
Kedua, Multilateral treaties
creating new rules of international law may bind non-parties in the same way as
do all rules of international law,… (Perjanjian multilateral yang menciptakan
kaidah hukum internasional baru dan diratifikasi oleh semua negara besar, akan
mengikat negara bukan peserta sebagaimana hukum internasional mengikatnya).
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perjanjian Internasional yang telah
diratifikasikan dengan peraturan perundang – undangan Nasional, diakui
keberadaannya sebagai bagian dari sistem Hukum Nasional dan mempunyai kekuasaan
hukum yang mengikat, setelah diatur dengan undang Undang – undang Ratifikasi
suatu Perjanjian Internasional. Namun dalam hal ada perbedaan isi
ketentuan suatu Undang – Undang Nasional dengan isi Perjanjian Internasional
yang telah Diratifikasi, atau belum ada peraturan pelaksanaan Undang – undang
Ratifikasi suatu perjanjian, maka Perjanjian Internasional Tersebut tidak dapat
dilaksanakan.
Melakukan kajian mengenai kekuatan
mengikat dari suatu perjanjian internasional, sama halnya dengan melakukan
pembahasan tentang hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian tersebut.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa hanya negara-negara peserta atau
yang menjadi pihak-pihak dalam suatu perjanjian itulah yang sesungguhnya
memperoleh hak dan kewajiban oleh perjanjian bersangkutan. Sedangkan negara-negara
yang bukan peserta perjanjian pada dasarnya merupakan “res inter alios acta“.
Ada satu ketentuan yang penting dalam kaitan ini adalah bahwa perjanjian
internasional tidak menimbulkan kewajiban atau hak bagi pihak ketiga tanpa
persetujuan pihak ketiga tersebut. Persetujuan ini harus diberikan secara
tertulis serta kewajiban dan hak pihak ketiga tersebut harus dinyatakan dengan
tegas dalam perjanjian itu.
B. Saran.
Menyongsong tibanya era mondialisasi
perniagaan dimana batas-batas teritorial suatu negara semakin imajiner, setiap
negara tidak terkecuali Indonesia harus menyiapkan berbagai instrumen guna
mendukung lancarnya interaksi antar masyarakat dari berbagai kawasan. Sudah
barang tentu perangkat norma sebagai salah satu instrumen untuk bidang hukum juga
sangat mendesak untuk dipersiapkan secara baik. Hal itu demikian penting, oleh
karena dalam aktivitas perniagaan barang dan jasa yang menjadi ciri utama
masyarakat global, jika muncul kasus-kasus sengketa komersial, maka para pelaku
niaga menuntut penyelesaian yang serba cepat, tepat, dan sekaligus akurat.
DAFTAR PUSTAKA
Amos, Abraham. 2005. Sistem
Ketatanegaraan Negaraan Indonesia. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Azhary, Muhammad Tahir. 2004. Negara
Hukum. Prenada Media: Jakarat.
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar
Ilmu Politik. PT. Gramedia Pustaka Utama:Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar